MUKADIMAH

Assalmu'alaikum wr. wb.

Bismillahirrahmaanirrahiim

Kita awali sharing ini dengan mukadimah tapi penting.

Pertama, acara ini adalah acara sharing dan saya adalah teman sharing. Saya disini bukan sebagai narasumber apalagi rujukan, jadi hanya sebatas teman sharing saja, diterima bisa ditolak boleh. 
Yang saya sharingkan adalah kebenaran tetapi kebenaran yang masih dibatasi oleh kapasitas saya, masih dibatasi oleh personalitas saya, masih dibatasi oleh subyektifitas saya, jadi kebenarannya masih relatif belum kebenaran yang sesungguhnya, belum kebenaran yang sebenarnya, belum kebenaran yang dijamin pasti benarnya sehingga saya selalu mengatakan "Benar menurut saya," jadi saya belum berani mengatakan: "menurut ini, menurut itu, menurut Islam, menurut Hadits, menurut ayat, menurut Rasul, menurut Allah.." belum..belum semua itu, baru menurut saya dan kebenaran yang saya fahami ini dibatasi oleh kemampuan dan kapasitas saya, jadi jangan dijadikan rujukan dan jangan dijadikan referensi tapi hanya teman sharing saja.



Yang kedua, saya tidak dalam rangka mewakili pihak manapun. Saya beragama Islam tetapi tidak dalam posisi mewakili Islam dan juga tidak mewakili mazhab manapun. Jadi intinya memang ke Saya, jadi meskipun saya berkata benar itu berarti benar menurut saya, belum benar menurut ayat atau menurut hadits dll.  Jadi harap dimaklumi. Jadi kalo saya berkata benar, itu berarti benar menurut saya.  Saya tidak lagi berani seperti dulu, kalo dulu saya sering mengatakan "Menurut Isalm..", "menurut Hadits.." sekarang tidak lagi berani, sekarang menurut saya. 

Saya belajar Islam tapi kemampuan saya menangkap kebenaran dari Islam itu masih relatif.  Jadi baru benar menurut saya dan itulah kebenaran yang wajib saya taati karena saya tidak bisa mentaati kebenaran yang ada pada orang lain.  Saya hanya bisa dan mentaati kebenaran-kebenaran yang sudah bisa saya tangkap dan kebenaran sekarang yang sudah ada pada diri saya ini belum ada jaminan pasti benarnya, maka saya harus selalu berproses, selalu belajar lagi untuk memproses diri kepada kebenaran yang lebih tinggi yang sekarang saya belum tahu.  Dan bisa jadi kebenaran yang saya pegang saat ini bisa jadi nanti pada saat saya menemukan kebenaran yang lebih tinggi lagi ternyata kebenaran kemarin yang saya yakini benar ternyata tidak benar, itu sangat mungkin. Dan dalam perjalanan hidup saya, hal-hal seperti itu sering terjadi berulang-ulang dan tak terhitung, jadi jika saat ini saya merasa bahwa ini benar, tapi kemudian saya revisi sendiri karena adanya perkembangan-perkembangan pemahaman. Untuk itu maka Anda semua juga sama seperti saya dalam berproses, jadi taatilah kebenaran yang sudah anda fahami sehingga anda tidak ragu saat ini, namun tetap harus menyadari bahwa kebenaran yang difahami saat ini belum tentu pasti benarnya shingga kita harus selalu siap untuk merevisi diri, mencari, menggapai dan menemukan kebenaran yang lebih tinggi yang sekarang belum kita gapai.  Itulah Berproses Menuju Kesejatian Diri (BMKD). Jadi taati kebenaran yang sudah difahami sambil selalu mencari dan membuka diri terhadap kebenaran yang lebih tinggi yang sekarang belum kita fahami kemudian kita merevisi kebenaran kemarin dengan kebenaran yang lebih tinggi, kebenaran sekarang dan kebenaran nanti yang dengan itu maka arah kita itu akan semakin baik, akan semakin benar semakin menuju kearah kesempurnaan..


Dan menurut saya bahwa ada 2 faktor lain yang menghalangi itu semua. Yang pertama bentuk Egoisme kedirian, tidak bisa dikritik, kalo beda pendapat tidak mau sharing, menutup dari pendapat orang lain sehingga orientasinya "Saya tidak mau kalah..." Itu penghambat yang ada dalam diri saya. Ada penghambat yang lebih besar lagi yaitu bentuk Fanatisme. Fanatisme setahu saya adalah pengembangan atau perluasan dari egoisme, cuma egoisme kelompok, egoisme mazhab, egoisme agama, egoisme Islam, semua dikemas oleh egoisme, itu yang mendominasi diri saya. Diri saya menjadi pusat dari kehidupan, dari nilai-nilai, dari alat ukur dsb. Sehingga dulu saya sering terjebak mengukur orang lain dengan saya, padahal saya bukan alat ukur. Itulah bentuk keterjebakan-keterjebakan karena ada bentuk egoismen, dan egoisme yang diperluas namanya fanatisme, bisa jadi fanatisme nasionalis, tapi tetap saja fanatisme yaitu Nasionalis yang dibungkus dengan egoisme.

Jadi kalo kita mau berproses kita harus membuka itu semua, kita jangan didominasi oleh egoisme, jangan didominasi oleh fanatisme, misalnya: "pokoknya kalo non muslim buruk..", itu fanatisme Islam. Atau "kalo bukan Islam Buruk.." apalagi mengukurnya hanya sekedar "Namanya" Agama Islam, megukur sesuatu hanya karena Identitas.


Untuk itu mohon jangan tergesa diterima, namun jangan juga mudah menolak, menerima itu harus tertib, menolak juga harus tertib, baik menerima maupun menolak ada konsekwensi logisnya masing-masing. 
Disadari atau tanpa disadari, kita membangun pribadi kita itu pengaruh dari menerima atau menolak, dan itu sangat-sangat besar pengaruhnya, jadi saya membentuk diri saya itu terhadap apa yang saya tolak dan apa yang saya terima, itu yang akan membentuk kepribadian saya.  Jadi mohon jangan tergesa menerima dan jangan tergesa menolak. Jadi kalo kita sudah tertib, mapan, argumentasinya jelas, ya.. ini bisa diterima atau ditolak.

Mukadimah kedua. Bahwa ada faktor diluar diri kita yang sering tanpa kita tahu dan tanpa kita sadari ternyata faktor diluar diri kita itu lebih banyak mempengaruhi diri kita. Orang sering menyebutnya "Faktor X".  Dan saya menghubungkan faktor X itu dengan Tauhid, yang saya sebut kemudian sebagai Faktor X Illahiah.

Kalau kita bisa mengkaitkan diri kita dengan faktor X Illahiah itu, maka dalam presepsi tauhid saya, maka itulah hal yang paling bisa kita andalkan dalam rangka menuntun kita pada masa depan yang sukses baik secara materi maupun secara sepiritual. Kebenaran adalah faktor satu-satunya yang bisa mengkaitkan diri kita dengan faktor X itu. Maka kalau faktor X Illahiah adalah andalan ke masa depan, maka kebenaran adalah satu-satunya cara dalam rangka untuk menggapai sukses kita, sukses hari ini, sukses besok dan sukses masa depan. 

Hati-hati dengan kebenaran, pada saat kita bersamanya maka kita punya jaminan sukses masa depan karena kita terhubung dengan faktor X Illahiah, tapi kalau bukan kebenaran kita tidak punya jaminan apa-apa.  Kita tidak tahu khan? besok akan terjadi apa..? atau akan bagaimana? kita nggak ngerti tentang masa depan.  Faktor X Illahiah itulah yang akan bisa kita andalkan sebagai penuntun kita ke masa depan... 

Wassalam..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar